
Prolog
Aku duduk sendirian di bangku taman, memandang daun-daun kering yang berjatuhan. Angin sore berhembus pelan, seolah ingin membisikkan jawab atas semua tanya yang berkecamuk di dadaku. Bersamamu ku terluka, melepaskanmu aku lebih terluka. Kalimat itu berputar tanpa henti di kepalaku, mengunci langkahku di antara ingin pergi atau bertahan.
Pertemuan Pertama
Namanya Arga. Pria berparas tenang, dengan mata teduh yang sanggup menenggelamkan ribuan kegelisahan. Aku mengenalnya di sebuah workshop penulisan setahun lalu. Sejak awal, ada getaran aneh yang tak bisa kutampik setiap kali dia tersenyum atau menatapku lebih lama dari seharusnya.
Hari demi hari, aku semakin larut. Dia mengajakku berdiskusi soal mimpi, tentang menulis novel, tentang hidup, bahkan tentang luka-luka yang pernah kami alami. Arga begitu paham caranya membuatku merasa dipahami. Padahal kami baru saling mengenal.
Rasa Yang Berkembang
Tak butuh waktu lama hingga kami semakin dekat. Chat panjang menjadi rutinitas. Panggilan video hingga larut malam. Bahkan, setiap aku merasa hancur oleh masalah pekerjaan, dia selalu ada. Mengulurkan kata-kata penghibur yang terdengar tulus.
Aku jatuh hati.
Namun di balik rasa manis itu, aku mulai merasakan ganjalan. Arga selalu menghindar saat kubahas soal hubungan serius. Ada batas tak kasatmata yang seolah tak ingin dia lewati. Kadang dia hilang tanpa kabar, hanya untuk kembali dengan alasan sibuk.
Luka Yang Perlahan Muncul
Aku mulai merasa seperti menapaki jalan berduri. Semakin dekat dengannya, semakin sering aku menangis. Ada hari-hari di mana aku merasa sangat bahagia bersamanya. Namun lebih sering aku merasa dibiarkan menggantung, menunggu pesan yang tak kunjung datang, atau penjelasan yang selalu samar.
Aku ingin pergi. Namun setiap kali aku berniat melangkah, Arga muncul lagi dengan sikap hangatnya. Membawa bunga, kata-kata maaf, dan semua perhatian yang sempat hilang. Luka-luka yang semula ingin kubiarkan sembuh, justru tercabik lagi.
Antara Bertahan Atau Pergi
Malam itu, hujan turun deras. Aku duduk di kafe tempat pertama kali kami bertemu. Mataku menatap jendela, melihat titik-titik air menetes pelan. Arga datang, basah kuyup, wajahnya penuh kegelisahan.
“Aku… aku nggak bisa kayak gini terus,” ucapku pelan.
Dia menatapku, matanya merah. “Aku sayang kamu, Nad.”
Aku menahan air mata. “Bersamamu ku terluka, Arga. Tapi… melepaskanmu aku lebih terluka.”
Arga terdiam. Jemarinya gemetar saat meraih tanganku. “Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Tapi kamu selalu membuatku merasa sendirian,” suaraku pecah. “Aku capek, Ga. Aku capek berharap.”
Keputusan Yang Sulit

Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku memutuskan menghilang. Kuhapus nomornya. Kublokir semua akun sosial medianya. Rasanya seperti menusuk hatiku sendiri. Setiap malam, aku menangis dalam diam. Hatiku hancur berkeping-keping.
Namun perlahan, aku mulai merasa lega. Aku belajar mengisi hari-hariku tanpa Arga. Meski kadang masih terasa sakit saat melihat tempat-tempat yang pernah kami datangi, atau mendengar lagu yang sering kami nyanyikan bersama.
Luka Yang Tidak Sepenuhnya Sembuh
Hingga hari ini, aku masih mencintainya. Luka itu belum sembuh sepenuhnya. Kadang aku masih ingin meneleponnya. Masih berharap dia datang menjemputku, berkata bahwa dia siap memperjuangkan hubungan ini.
Namun aku tahu, jika aku kembali, aku hanya akan mengulang lingkaran luka yang sama. Bersamanya, aku terluka. Tapi melepaskannya, aku juga lebih terluka.
Karena cinta, terkadang bukan soal bertahan atau melepaskan. Tapi soal berdamai dengan rasa sakit yang ditinggalkannya.
Epilog
Aku bangkit dari bangku taman, menatap matahari yang mulai tenggelam. Kuhela napas panjang. Hari ini aku belajar satu hal penting: tak semua rasa cinta harus dimiliki. Terkadang, melepaskan adalah bentuk cinta paling tulus—meski harus melukai diri sendiri.
Bersamamu ku terluka, melepaskanmu aku lebih terluka. Namun, aku tetap harus memilih jalan untuk sembuh. Meskipun perih.
1 Komentar